Ini merupakan contoh teori tentang pembelajaran yang kurang begitu popular, tetapi merupakan rintisan menuju aliran behaviorisme. Teori ini berakar dari teori pembelajaran menurut Plato dan Aristoteles. Teori ini menganggap bahwa dalam belajar, mental siswa harus didisiplinkan atau dilatih. Menurut rumpun psikologi ini individu memiliki kekuatan, kemampuan, atau potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan pengembangan dari kekuatan, kemampuan dan potensi-potensi tersebut. Dalam hal ini, aliran psikologi daya, aliran Herbartisme, dan aliran naturalisme romantik dari J.J. Rousseau memiliki sudut pandang berbeda tentang bagaimana proses pengembangan kekuatan-kekuatan tersebut (Sukmadinata 2004 : 167-168).
Aliran psikologi daya menyatakan bahwa individu memiliki sejumlah daya, mengenal, mengingat, menanggapi, mengkhayal, berpikir, merasakan, berbuat dan lain-lain. Daya-daya itu dapat dikembangkan melalui latihan-latihan dalam bentuk ulangan-ulangan. Jika anak dilatih mengulang-ulang dan menghafal sesuatu, maka ia akan terus ingat akan hal itu. Penerapannya dalam budaya Indonesia misalnya pada peribahasa “lancar kaji karena diulang”. Artinya para praktisi pendidikan leluhur kita juga telah lama menerapkan hal ini.
Adapun Herbartisme, dinamakan demikian sesuai dengan nama pelopornya, Herbart seorang psikolog Jerman. Herbart menyebut teorinya dengan teori Vorstellungen. Vorstellungen memiliki makna tanggapan-tanggapan yang tersimpan dalam kesadaran. Tanggapan ini meliputi tiga bentuk, yaitu: impresi indera, tanggapan atau bayangan dari impresi indera yang lalu, serta perasaan senang atau tidak senang. Tanggapan-tanggapan tersebut tidak semuanya berada dalam kesadaran, tetapi juga berada di alam bawah sadar (subconscious mind). Tanggapan-tanggapan tersebut juga berbeda-beda kekuatannya, tanggapan yang kuat besar pengaruhnya terhadap kehidupan individu. Belajar adalah mengusahakan adanya tanggapan-tanggapan sebanyak-banyaknya dan sejelas-jelasnya pada kesadaran individu. Hal ini diberikan dengan cara pemberian bahan yang sederhana, penting tetapi menarik, dan memberikannya sesering mungkin. Artinya perlu adanya pengulangan pengulangan. Dalam praktik pembelajaran adanya apersepsi pada awal pembelajaran serta refleksi pada akhir pembelajaran pada hakikatnya merupakan implementasi dari teori ini.
Jean-Jacques Rousseau pelopor aliran naturalisme romantik, pendidik dan negarawan Perancis, menyatakan bahwa anak-anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam. Melalui belajar, anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan, dan mengembangkan dirinya sendiri. Anak-anak akan berkembang secara alamiah (natural unfoldment). Pendidik tidak perlu banyak turut campur mengatur anak, biarkan dia belajar sendiri, yang penting perlu diciptakan situasi belajar yang rileks, menarik, dan bersifat alamiah. Guru diharapkan lebih mementingkan perkembangan kematangan (maturational development) daripada menyibukkan diri dengan menanamkan pengetahuan dan keterampilan-keterampilan tertentu. Inisiatif belajar hendaknya muncul dari anak.
Teori disiplin mental ini kurang kuat pengaruhnya terhadap pendidikan dan pembelajaran, mungkin juga karena pengaruh sifat negativisme terhadap pendidikan seperti yang dipegang oleh penganjur aliran naturalisme. Di samping itu, sifat spekulatif dari teori-teori ini banyak mendapatkan kritikan dari para ahli pendidikan. Berbeda dengan konsep behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme.
Sumber : Belajar dan pembelajaran, Teori konsep dasar ( Prof. DR. Suyoono, M.Pd, DRS. Hariyanto, M.S :2015 -56-58 )